Penulis: Randy Tukan, Mahasiswa STHI Awanglong Samarinda, Anggota Biasa PMKRI Cabang Samarinda
KALIMANTAN - Kelahirannya tampak begitu sempurna dari seorang ibu yang yang begitu menawan. Sayangnya kata menawan adalah kata pelarian seorang yatim sepertinya. Namanya adalah Tyra yang artinya bertarung. Ia wanita, bertarung sorang diri melawan kenyataan hidup. (20/5/2005).
Sejak Tyra lahir ia bagaikan katak kehilangan teratai tak tahu kemana arah pulang. Ia dibuang bagaikan arang yang usai dipanggang ketika tak diinginkan lagi. Bahkan sampai sekarang ia tak tahu sosok rahim yang telah melahirkannya. Bagaimana ia dapat tahu, jika sejak bayi, sudah dititipkan ibunya di panti asuhan yang bernama "Panti Bara" yang artinya panti penuh kekayaan.
Jangan salah panti Bara hanyalah sebuah simbol tentang kekayaan sang pemilik panti. Sedangkan Tyra bersama enam kawan lainnya yang senasib, hidup bagaikan daun kering yang menjadi pupuk untuk pohon yang ditumpangi. Mereka dikurung dalam satu ruangan berkaca yang sempit. Mungkin kelihatannya seperti penjara cilik. Berebutan sedikitnya udara untuk dihirupi adalah kebiasaan anak-anak itu. Tak hanya itu perut yang terus menggema adalah simbol kelaparan kasih sayang dari sang pemilik panti. Serta suburnya tangisan adalah sibol kerinduan pada sosok orang tua.
Pagi itu Tyra duduk sembari memegang perut yg terus menggema untuk meminta. Sayangnya tak seperti anak lain seusianya yang hidup bersama orang tuanya. Mereka dapat makan jika lapar dan minum jika haus tampa menunggu sang pemilik yang kapan akan memberi mereka makan. Sembari menahan lapar, ia melihat pak Marko membawa sembako yang dikirim donatur untuk panti itu. Kebahagiaan Tyra begitu nampak ketika melihat makanan yang siap santap, seperti kripik, roti dan jajan lainnya yang dibawakan pak Marko.
Sekedar informasi pak Marko adalah suami dari pemilik panti, tidak lain bernama bu Siti. Ibu Siti adalah sosok yang penuh misteri. Kadang kasih sayang, kadang sebaliknya. Identiknya jika mengunakan perhiasan emas, ia menjelma menjadi orang yang paling kejam. Sedangkan tanpa emas dipakainya, ia bagikan Malaikat penolong bagi Tyra dan kawan-kawan di panti. Bahkan ia tak segan meminta sedekah untuk anak-anak itu, agar tetap bertahan hidup. Mungkin hobi bu Siti yang suka bermain dengan perhiasan menjadikannya beda dari penjaga panti lainnya.
Kembali kecerita awal. Ketika Tyra menyadari taman-tamannya turut merasakan kelaparan, walaupun ia dengan tubuh difabel, ia berusaha membuka pintu untuk meminta makanan. Niatnya sempat terhenti ketika melihat ibu Siti dan suaminya sibuk menempel harga di sembako yang dikirim untuk mereka.
"Beras 5 kg itu cukup 30 ribu saja sayang" kata bu siti sembari menarik beras dari donatur Kim.
"Kok hanya 30 ribu? Itukan sangat murah" kata pak Marko sambil memasang muka tebalnya.
"Tidak apa-apa sayang, yang penting bisa diuangkan dan ada pemasukan untuk kita"kata ibu siti sembari menebar senyum.
Melihat sembako donatur yang dibawa Pak marko bukan untuk untuk mereka, Tyra begitu sedih. Bahkan ia mengurungkan niatnya meminta sedikit makanan untuknya dan kawan-kawan. Tapi karena teromahnya di dua bulan lalu ketika ia sakit berat namun tidak dibawa ke ruma sakit dan diobati, ia terpaksa memberanikan diri untuk meminta kepada bu siti. Bu Siti kemudian memberikan tiga roti kepadanya.
"Sekiranya 3 roti ini cukup untukmu dan kawan-kawan. Nanti ibu akan memasak setelah pekerjaan ini". kata ibu siti kepada tyra sembari lanjut memasang harga pada sebungkus minyak goreng yang ia pegang.
Awalnya Tyra enggan mengambil, menurutnya sangat mustahil tiga roti itu cukup untuk 6 orang. Tapi karena desakan perut yang begitu cengeng, terpaksa ia membawa 6 roti itu untuk dimakan bersama.
Pagi yang lapar itu begitu kejam. Melihat tiga roti yang sama diberikan ibu siti kepada kucing kesayangannya, Tyra begitu geram, sambil meneteskan air mata ia menggugat Tuhan.
" Tuhan sesungguhnya siapa lebih berharga. Penderitaan Kucing ataukah hamba-hamba ini". Katanya dalam hati sembari menahan tangis.
Waktu terus bernapas sejalan jarum jam.
Sunyi sepi menggema di Panti Bara.
Lagi-lagi malam itu ketika Tyra hendak makan, tampa di sengaja ia melihat ibu Siti lagi-lagi memberi 4 ekor ikan kepada kucing itu. Melihat kucing yang begitu merasakan kasih sayang seorang ibu, ia akhirnya meneteskan air mata. Bagimana tidak ia dan kawan-kawan hanya diberi seekor ikan itu pun dibagi lagi kepada dua orang.
"Jika ibuku tidak membuang aku disini, mungkin aku lebih berharga dari kucing" kata Tyra kepada Kevin sahabatnya.
Malam itu adalah puncak amara Tyra terhadap perbedaan kasih sayang manusia dan kucing. Ia kemudian mencari celah untuk menyingkirkan kucing. Menurutnya jika kucing itu tidak ada mereka tidak akan kelaparan. Melihat kiriman makanan dari luar lebih banyak dihabiskan tuan panti dan kucingnya, amara Tyra seakan meledak menembus rasa.
Walupun usianya belum samapi 10 tahun dengan keadaan tubuhnya yang divabel, ia sudah dapat merasakan bagaimana dijadikannya sebagi kucing. Ia mulai menyusun siasat. Nasi disiapkan bu siti kepadanya, ia menggunakannya sebagi umpan malapetaka untuk kucing.
Kurang lebih pukul 23:00, ia kemudian meletakan makannya itu di depan pintu kamar. Tak butuh waktu lama kucing kesayangan Ibu siti yang begitu rakus mencoba makan makanannya Tyra.
"Bommmmmmmmm" bunyi balok mengenai kepala kucing. Tyra akhirnya berhasil membunuh kucing. Alhasil kucing telah disingkirkan. Sayangnya bagaimana pun kondisinya, tetap kucing lebih berharga untuk bu Siti. Bagaimana tidak aksi nekat Tyra membawanya di ruang gelap, diasingkan dari teman-teman lain.
Kegelapan adalah hal yang paling ditakuti. Tapi percayalah akan ada cahaya yang akan menyelamatkan kegelapan. Tyra kemudian diadopsi oleh seorang rahim yang begitu subur. Alhasil ia kemudian tumbuh dengan subur pada rahim kehidupan ibu angkatnya.
Setiap malam ia hanya berdoa semoga teman-temannya di panti diadopsi oleh rahim yang sama. Dengan demikian takan ada lagi kucing yang lebih berharga daripada manusia.