Penulis: Auliya Uswatun Khasanah., S.H. NIM: P2B125026 Mahasiswa Program Megister Ilmu Hukum Universitas Jambi
TEBO - Aktivitas Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kabupaten Tebo masih menjadi persoalan yang belum terselesaikan. Meski penertiban kerap dilakukan aparat, praktik PETI terus muncul kembali. Kondisi ini menunjukkan bahwa persoalan PETI tidak hanya berkaitan dengan pelanggaran hukum, tetapi juga erat dengan realitas sosial dan ekonomi masyarakat.
Dari sudut pandang hukum sosiologis, keberadaan PETI muncul karena hukum belum sepenuhnya menjawab kebutuhan masyarakat di lapangan. Keterbatasan lapangan kerja membuat sebagian warga melihat PETI sebagai solusi ekonomi jangka pendek, meskipun berisiko melanggar hukum dan merusak lingkungan.
“Aktivitas PETI itu sebenarnya kami tahu melanggar hukum, tapi bagi sebagian masyarakat, ini soal bertahan hidup. Kalau tidak ada pilihan kerja lain, hukum sering dianggap jauh dari realitas,” ujar Auliya (23), warga Kabupaten Tebo.
Pengaruh globalisasi juga turut memperkuat praktik PETI. Harga emas dunia yang relatif tinggi, kemudahan akses alat tambang, serta informasi yang cepat melalui media sosial membuat aktivitas PETI semakin menarik dan mudah ditiru. Masyarakat lokal akhirnya terhubung langsung dengan pasar global, meski melalui jalur ilegal.
Namun, PETI membawa dampak serius, mulai dari kerusakan lingkungan, pencemaran sungai, hingga potensi konflik sosial. Penegakan hukum menghadapi berbagai tantangan dan hambatan, seperti ketergantungan ekonomi masyarakat, luasnya wilayah pengawasan, serta rendahnya kesadaran hukum.
“Kalau hanya ditertibkan tanpa solusi, PETI pasti muncul lagi. Yang dibutuhkan itu lapangan kerja dan pembinaan, bukan sekadar razia,” tambah Auliya.
Kasus PETI di Kabupaten Tebo menjadi contoh bahwa penanganan masalah hukum harus disertai pendekatan sosial. Tanpa kebijakan yang adaptif dan berpihak pada solusi jangka panjang, hukum akan sulit berjalan efektif di tengah arus globalisasi yang terus berkembang.


