JAMBI - Dalam upaya membangun bangsa dan daerah, termasuk Jambi, hal yang paling sering dibicarakan adalah soal anggaran: besarannya, serapannya, serta efektivitas penggunaannya. Namun, di balik angka-angka itu, sering terlupakan satu fondasi yang jauh lebih penting dari sekadar pencapaian teknokratis, yakni: moral dan etika dalam mengelola keuangan.
Keuangan Islam hadir bukan hanya sebagai sistem, tetapi sebagai jalan hidup. Ia tidak hanya menawarkan rumus keuangan syariah seperti zakat, wakaf, atau larangan riba, tetapi juga menanamkan nilai-nilai spiritual dan sosial dalam setiap praktiknya. Etika keuangan Islam berakar pada ajaran tauhid, yakni kesadaran bahwa manusia adalah khalifah yang diberi amanah oleh Allah untuk mengelola harta dengan penuh tanggung jawab, adil, dan menjauhkan diri dari kezhaliman.
Di sinilah relevansi prinsip Golden Rule menjadi sangat penting. Dikenal luas sebagai norma etika universal, Golden Rule berbunyi: “Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin diperlakukan.” Prinsip ini sejalan penuh dengan semangat Islam, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW: _“Tidak beriman salah seorang dari kalian sampai dia mencintai saudaranya sebagaimana dia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)_.
Jika prinsip ini diadopsi dalam pengelolaan keuangan daerah, termasuk dalam tata kelola anggaran publik, maka yang lahir bukan hanya kebijakan yang tepat sasaran, tapi juga kebijakan yang berjiwa, yang lahir dari empati, bukan hanya perhitungan dingin. Pengelolaan anggaran akan mempertimbangkan nasib masyarakat rentan, mendahulukan program berbasis kebutuhan riil rakyat, serta menghindari pemborosan dan proyek-proyek yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Namun, realita sering berkata lain. Dalam berbagai riset dan temuan akademik, praktik keuangan publik kerap terjebak dalam mentalitas formalistik—sekadar memenuhi aturan tanpa memikirkan nilai-nilai substansial. Padahal keuangan yang berkah adalah yang adil, jujur, dan pro-rakyat. Inilah yang menjadi kritik utama para cendekiawan Muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali, yang menyatakan bahwa kerusakan negara dimulai ketika para pengelola harta menjadi serakah dan lupa pada amanah.
Ilmu ekonomi modern pun sebenarnya telah bergerak ke arah yang sama. Pendekatan ekonomi perilaku _(behavioral economics)_ dan ekonomi berbasis moral _(moral economics)_ menekankan pentingnya nilai dan integritas dalam pengambilan keputusan keuangan. Keuangan tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan spiritual. Kesejahteraan sejati bukan hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tapi juga keadilan distribusi dan keberlangsungan nilai.
Di Jambi, di tengah semangat pembangunan, kita harus memastikan bahwa kebijakan keuangan tidak melulu berorientasi pada angka dan laporan, tetapi pada nilai-nilai moral yang mengakar. Program pemberdayaan masyarakat harus benar-benar memberdayakan, bukan sekadar formalitas. Dana pembangunan harus diarahkan untuk mengurangi ketimpangan sosial, meningkatkan akses layanan dasar, dan menciptakan lapangan kerja yang bermartabat.
Etika keuangan Islam juga mengajarkan bahwa harta bukanlah tujuan, tetapi sarana. Dalam QS. Al-Hadid ayat 7, Allah menyeru: _“Berimanlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Allah telah menjadikan kamu menguasainya.”_ Ini menegaskan bahwa segala bentuk kekayaan hanyalah titipan, bukan milik mutlak. Maka, jika ada anggaran, proyek, atau program, maka semestinya dikelola dengan penuh rasa takut kepada Allah dan tanggung jawab kepada rakyat.
Opini ini bukan sekadar ajakan idealis, tapi seruan praktis. Pemerintah daerah, pengelola keuangan publik, dan seluruh pemangku kebijakan di Jambi harus menjadikan nilai-nilai Islam sebagai pijakan dalam menyusun, menjalankan, dan mengevaluasi kebijakan keuangan. Golden Rule bukanlah jargon kosong, melainkan jembatan menuju keuangan yang adil, manusiawi, dan dirahmati oleh Allah SWT.
Masyarakat juga tak boleh pasif. Kontrol sosial, partisipasi warga, serta budaya transparansi harus dikuatkan. Karena hanya dengan sinergi antara pemerintah yang amanah dan rakyat yang kritis, Jambi bisa tumbuh menjadi provinsi yang tak hanya berkembang secara ekonomi, tetapi juga matang secara moral.
Penulis : M. Marwan Mahdi (Mahasiswa Magister Ilmu Ekonomi Pascasarjana Universitas Jambi)