PENDIDIKAN

Menjaga Prinsip Non-Retroaktivitas di Tengah Euforia Reformasi KUHAP

Heri Suprayogi
03 Desember 2025, 18.35 WIB Last Updated 2025-12-03T11:35:08Z
masukkan script iklan disini

 


Oleh: Raafila Anbiya, S.H.

Aktivis LBH IKAHUM UNISRI


Di tengah derasnya wacana pembaruan hukum acara pidana melalui RKUHAP 2026, publik seolah diliputi optimisme bahwa aturan baru akan menjadi obat mujarab atas berbagai persoalan penegakan hukum. Namun, ada satu prinsip fundamental yang justru rawan tergerus oleh euforia reformasi tersebut: prinsip non-retroaktivitas, atau larangan pemberlakuan hukum secara surut.


Prinsip ini bukan sekadar teori akademik, melainkan benteng utama yang menjaga warga negara dari potensi penyalahgunaan kekuasaan. Konstitusi melalui Pasal 28I ayat (1) menyatakan secara tegas bahwa hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. KUHP dan instrumen hukum internasional seperti ICCPR mengafirmasi hal yang sama.


Bahaya Salah Arah dalam Penerapan KUHAP Baru


Di tengah perubahan hukum, salah satu mispersepsi yang kini beredar adalah anggapan bahwa KUHAP baru secara otomatis berlaku untuk setiap perkara yang diperiksa pada tahun 2026. Padahal, ini keliru dan berbahaya. Perubahan hukum acara tidak bisa serta-merta diterapkan pada perkara yang proses hukumnya sudah berjalan.


Meski KUHAP merupakan hukum acara, asas non-retroaktivitas tetap berlaku untuk mencegah kekacauan administratif dan ketidakpastian hukum. Prosedur yang sudah dimulai dengan KUHAP 1981 tidak boleh diganti begitu saja oleh aturan baru sebab hal itu berpotensi menimbulkan pelanggaran hak tersangka, perubahan standar pembuktian, dan bahkan pembatalan pemeriksaan.


Reformasi hukum tidak boleh berbenturan dengan asas legalitas. Jika proses hukum dapat berubah hanya karena kalender berganti, maka yang rusak bukan hanya administrasi, melainkan kepercayaan publik terhadap keadilan itu sendiri.


Ruang Humanis Melalui Lex Mitior


Namun sistem hukum modern tidak sekadar kaku. Ia memberi ruang bagi asas lex mitior, yakni peluang menerapkan aturan baru jika lebih menguntungkan terdakwa misalnya mengurangi durasi penahanan atau memperluas standar perlindungan hak. Pengecualian ini menunjukkan bahwa hukum tidak hanya soal kepastian, tetapi juga soal perikemanusiaan.


Lex mitior bukan bentuk pelonggaran, melainkan wujud keberpihakan sistem hukum terhadap keadilan substantif. Prinsip ini diakui tidak hanya di Indonesia, tetapi juga dalam praktik hukum internasional.


Belajar dari Kasus 2025


Salah satu contoh konkret adalah perkara pengeroyokan yang terjadi pada Desember 2025. Meski sidang berlangsung pada 2026, proses hukum tetap wajib menggunakan KUHAP 1981 karena penyidikan dimulai sebelum aturan baru berlaku. Memaksa penerapan KUHAP baru dalam kasus seperti itu bukan hanya melanggar asas non-retroaktif, tetapi juga membuka ruang sengketa hukum yang tidak perlu.


Hukum tidak bisa bekerja dengan prinsip “ganti aturan, ganti prosedur”. Sistem peradilan pidana terlalu kompleks untuk diubah di tengah proses tanpa konsekuensi serius.


Refleksi untuk Negara: Reformasi Bukan Alasan untuk Abai


Indonesia membutuhkan pembaruan hukum. Namun pembaruan tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan prinsip dasar yang menjaga wibawa hukum itu sendiri. Negara tidak boleh memberi ruang bagi penegak hukum untuk menafsirkan aturan baru secara serampangan hanya karena tergesa mengejar implementasi.


Prinsip non-retroaktivitas adalah alarm moral dan konstitusional yang seharusnya tetap berbunyi keras setiap kali perubahan hukum dilakukan. Ia mengingatkan bahwa reformasi hukum tanpa konsistensi justru menciptakan ketidakadilan baru.


Penutup: Menjaga Integritas Hukum dari Godaan Politik


Sebagai aktivis LBH, saya melihat langsung bagaimana masyarakat korban kriminalisasi sering kali terjebak dalam ketidakjelasan aturan. Karena itulah non-retroaktivitas harus dijaga ketat. Hukum tidak boleh menjadi permainan yang hasilnya berubah mengikuti situasi politik atau agenda tertentu.


Reformasi KUHAP adalah momentum besar. Namun ia hanya bisa menguatkan negara hukum jika dilakukan tanpa melanggar prinsip dasar yang selama ini menjadi jaminan perlindungan hak warga negara. Prinsip non-retroaktivitas adalah salah satunya dan ia tidak boleh ditawar.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Politik

+