PENDIDIKAN

Refleksi Pendidikan Hukum Akhir Tahun 2025

Heri Suprayogi
31 Desember 2025, 06.18 WIB Last Updated 2025-12-30T23:18:14Z
masukkan script iklan disini


Oleh: DR.Al Ghozali Hide Wulakada SH.,MH

Dosen Fakultas Hukum UNISRI

Direktur LBH IKAHUM UNISRI


SURAKARTA - Ratusan fakultas hukum di Indonesia setiap tahun meluluskan ratusan ribu sarjana, magister, dan doktor hukum; ribuan di antaranya memasuki profesi penegak hukum, birokrasi, dan lembaga perwakilan. Namun hingga 2025–2026, berbagai studi perbandingan internasional seperti World Justice Project dan Worldwide Governance Indicators masih menempatkan Indonesia pada indeks ketertiban dan ketaatan hukum yang relatif rendah dibanding negara dengan tradisi pendidikan hukum kritis yang mapan. Fakta ini menunjukkan sebuah paradoks struktural dalam pembangunan hukum nasional. (31/12/2025)


Paradoks tersebut memperlihatkan bahwa kuantitas sumber daya manusia hukum tidak berbanding lurus dengan kualitas keadilan publik. Secara filosofis, kondisi ini menandakan adanya jarak serius antara hukum sebagai sistem normatif formal dan hukum sebagai praksis etis yang hidup dalam kesadaran warga, lembaga negara, serta tanggung jawab moral profesi hukum. Hukum hadir sebagai aturan yang ditaati, tetapi belum sepenuhnya dihayati sebagai nilai yang membentuk perilaku dan keberanian moral dalam kehidupan bernegara.


Refleksi ini tidak dimaksudkan untuk menafikan seluruh praktik pendidikan hukum yang telah ada. Di berbagai fakultas, terdapat dosen dan tradisi akademik yang secara konsisten mengembangkan pemikiran kritis dan reflektif. Namun harus diakui bahwa arus utama pendidikan hukum masih didominasi oleh pendekatan positivistik-formal, yang menempatkan legalitas prosedural sebagai ukuran utama kebenaran hukum. Kritik ini diarahkan pada kecenderungan dominan yang bersifat sistemik, bukan pada individu atau komunitas akademik tertentu.


Dalam pendekatan tersebut, hukum yang diundangkan melalui proses legislasi formil sering diasumsikan telah sah sekaligus adil. Mahasiswa dibiasakan menerima hukum sebagai produk final, bukan sebagai hasil pergulatan nilai, kepentingan, dan relasi kekuasaan. Akibatnya, hukum dipelajari sebagai teks dan teknik, bukan sebagai persoalan moral dan politik. Di titik ini, pendidikan hukum secara tidak sadar melatih kepatuhan, bukan keberanian intelektual untuk menguji keadilan hukum itu sendiri.


Plato telah mengingatkan bahwa hukum tanpa jiwa keadilan hanyalah bayangan kebenaran. Aristoteles menempatkan tujuan pendidikan pada pembentukan phronesis, yakni kebijaksanaan praktis untuk memilih yang adil dalam situasi konkret. Namun pendidikan hukum modern cenderung menekankan kecakapan prosedural dan keterampilan teknis, sementara dimensi kebijaksanaan etis diletakkan di pinggiran. Mahasiswa dipersiapkan menjadi ahli yang patuh, tetapi belum tentu menjadi ilmuwan yang reflektif dan bertanggung jawab secara moral.


Padahal, keahlian teknis adalah syarat perlu, tetapi tidak pernah cukup. Tanpa refleksi nilai keadilan, kemanusiaan, kebangsaan, dan peradaban keahlian hukum justru berpotensi melanggengkan ketidakadilan secara sah dan sistematis. Di sinilah perbedaan antara ahli hukum dan ilmuwan hukum menjadi relevan: yang pertama menguasai cara kerja norma, yang kedua bertugas menguji dasar, tujuan, dan akibat etis dari norma tersebut.


Kegagalan ini tidak sepenuhnya dapat dibebankan kepada dosen sebagai individu. Pendidikan hukum bekerja dalam ekosistem yang lebih luas, yang mencakup regulasi negara, tuntutan pasar profesi, birokratisasi kampus, serta tekanan politik yang sering kali tidak ramah terhadap sikap kritis. Hannah Arendt mengingatkan bahaya banality of evil, yakni ketika manusia berhenti berpikir dan sekadar menjalankan peran. Pendidikan hukum yang miskin refleksi berisiko melahirkan aparatur hukum yang taat prosedur, tetapi abai terhadap nurani keadilan.


Dalam konteks inilah pembaruan pendidikan hukum menjadi mendesak. Perubahan tidak cukup dilakukan pada level administratif, tetapi harus menyentuh cara berpikir. René Descartes mengajarkan keraguan metodologis bukan untuk menghancurkan pengetahuan, melainkan untuk memurnikannya. Mahasiswa hukum perlu diajak meragukan hukum positif secara rasional dan bertanggung jawab, agar tidak menjadikannya sebagai dogma yang kebal kritik.


Keraguan tersebut harus diikuti dengan latihan analisis yang ketat. Pendekatan filsafat dan logika argumentatif, seperti model Stephen Toulmin—klaim, data, warrant, backing, qualifier, dan rebuttal—dapat menjadi perangkat pedagogis yang efektif. Melalui cara ini, mahasiswa belajar bahwa hukum adalah argumen yang selalu terbuka untuk diuji, disempurnakan, dan dipertanggungjawabkan secara rasional dan etis.


Akhirnya, pendidikan hukum harus menanamkan keberanian mengemban keadilan. Socrates mengajarkan bahwa ketidakadilan tidak boleh dibalas dengan ketidakadilan, bahkan ketika hukum positif memaksanya. Pesan ini relevan bagi pendidikan hukum hari ini. Mahasiswa harus dibentuk menjadi subjek etis yang berani mengatakan tidak pada hukum yang menyimpang dari keadilan, tanpa kehilangan tanggung jawab ilmiah dan konstitusional.


Di titik itulah pendidikan hukum kembali menemukan maknanya. Ia tidak lagi sekadar mencetak pelaksana norma, melainkan membentuk penjaga nurani publik. Hukum pun kembali dimaknai sebagai jalan peradaban, bukan sekadar mesin legitimasi kekuasaan. Dan dosen hukum, dalam peran ini, tidak hanya menjadi pengajar pasal, melainkan pendidik keberanian moral bagi masa depan keadilan bangsa.


Komentar

Tampilkan

Terkini

Politik

+